Jumat, 14 November 2008

EKSISTENSI FARMASIS

Entah sudah berapa lama farmasis “Indonesia“ berada di posisi subordinasi dalam dunia profesi kesehatan. Sudah terlalu banyak kasus yang seharusnya membuka mata kepala dan mata hati kita untuk menyudahi kondisi ini
Masalah tersebut baru salah satu dari segudang masalah subordinasi yang diderita oleh farmasis, seperti oknum dokter yang punya hobi dispensing (perbuatan primitif karena menganggap bahwa dunia masih di jaman purba, di mana memang dokter dan farmasis masih menjadi satu tubuh). Hal ini memang wajar untuk kita terima, karena memang salah kita (farmasis). Salah kita?! Ya, betul itu memang salah farmasis sendiri. Ketika kita tanya kenapa ada dokter yang dispensing, tentu alasannya karena memang kita jarang melakukan tugas kita. Gimana, sudah ngerti (baca: sadar) kan? Kalau belum ngerti, oke saya akan beri penjelasan. Selama ini APA (Apoteker Pengelola Apotek) memang terkenal jarang ada di apotek, apalagi menyerahkan obat kepada pasien. Sehingga, ada dokter yang mengatakan lebih baik mereka yang membuat dan menyerahkan kepada pasien daripada ketika di apotek, pasien menerima obat hanya dari seorang kasir atau asisten apoteker.
Ya, memang kalau ditanya mengapa profesi farmasis di Indonesia seolah sebentar lagi akan punah, jawabannya adalah karena Apoteker tidak ada yang di Apotek. Seumur hidup saya di Jakarta, saya belum pernah bertemu dengan Apoteker.
Belum lagi, masalah mengenai “jeleknya” tulisan dari beberapa oknum dokter yang membuat farmasis pusing. Farmasis pun tidak dapat berkutik karena tidak bisa leluasa protes (karena masih berada dalam tekanan subordinasi). Coba hitung, berapa persen farmasis yang berani protes setelah mendapat resep yang sulit terbaca?! (bisa buat judul skripsi). Kenapa tidak berani? Tunjukkan eksistensimu! Di mana peran wadah profesi kita (baca: ISFI,) dalam membela hak kita untuk menerima resep yang bisa dibaca.
ADA 1 KUNCI UNTUK MENGATASI MASALAH INI: “PELAYANAN KEFARMASIAN”
Caranya?  APOTEKER HARUS ADA DI APOTEK SELAMA APOTEK ITU BUKA
(Tapi jangan cuma diam di apotek, tapi harus menunjukkan kemampuannya kepada pasien agar KITA MENYADARKAN MASYARAKAT BAHWA YANG BERHAK MENENTUKAN OBAT ADALAH FARMASIS”
Terlepas dari semua “gugatan” itu, maka sudah selayaknya farmasis mempertimbangkan mendahulukan kesehatan pasien daripada kepentingan “uang” saat memperjuangkan profesinya. Jangan sampai, terwujudnya eksistensi farmasis justru membuat rakyat semakin sulit (baca: mahal) untuk mendapatkan hak sehatnya. (Toshi)

2 komentar:

  1. Ya jelas, saya sangat mendukung bahwa farmasislah yang harus menentukan obat untuk pasien apa?

    BalasHapus
  2. seharusnya, pemerintah mewajibkan semua dokter yang menulis resep harus ditemani dokter

    BalasHapus